Mudarat Biaya Politik Mahal: Terlilit Narkoba hingga Jual Ginjal

Mudarat Biaya Politik Mahal: Terlilit Narkoba hingga Jual Ginjal

NON-STOP.ID– Ongkos berpolitik negeri ini yang bukan main mahalnya, sudah umum diketahui khalayak. Masalahnya, meski setiap palagan pemilihan umum (pemilu) narasi ini diulang-ulang, belum ada gebrakan untuk mengatur atau menekan agar biaya politik tak membengkak. Ongkos berpolitik selangit bakal merugikan kandidat yang punya kapasitas, namun kalah isi tas.

Lebih jauh, ongkos politik mahal bakal melemahkan kualitas partai politik dan menyuburkan praktik politik uang. Korupsi hingga ijon politik sebagian contoh anak haram yang dibidani ongkos politik tinggi. Jangan lupakan juga bahwa kandidat caleg yang kelimpungan mencari modal kampanye, dapat terjebak dalam lembah hitam kriminal.

Misalnya, nasib apes yang dialami politikus asal PKS, Sofyan, caleg terpilih untuk DPRK Aceh Tamiang. Sofyan dicokok Bareskrim Polri karena mengedarkan sabu seberat 70 kilogram. Uangnya digunakan untuk membiayai ongkos elektoral, termasuk kegiatan pencalegan.

“Kita dalami dulu apakah betul narkopolitik, tapi pengetahuan tadi interogasi dia ada sebagian, sebagian barang itu untuk kebutuhan dia mencaleg,” ucap Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Pol Mukti Juharsa, Senin (27/5/2024).

Sebelumnya, polisi sudah mengendus indikasi pendanaan politik elektoral Pemilu 2024 dari jaringan narkotika. Informasi itu disampaikan tahun lalu, jauh sebelum pemungutan suara dilakukan pada Februari tahun ini.

Sofyan kemungkinan besar bukan satu-satunya caleg yang meniti jalur kriminal demi duit haram untuk ongkos berlaga di Pemilu 2024. Pasalnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akhir tahun lalu, juga sempat mengendus aliran masif terkait dana kampanye yang berasal dari transaksi mencurigakan.

PPATK menemukan dugaan dana kampanye Pemilu 2024 yang mengalir dari pertambangan ilegal, dengan nilai transaksi mencapai triliunan rupiah. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, saat itu menuturkan bahwa laporan transaksi yang diduga berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang dalam kampanye, meningkat 100 persen pada semester II 2023. Sayang, polemik aliran dana kampanye ini menguap begitu saja.

Selain terjebak praktik kriminal, ongkos politik yang mahal juga membuat para kontestan pemilu terpaksa menjual harta-benda berharga mereka demi mendanai kampanye. Ada yang menjual dua buah mobil seperti komedian Dede Sunandar yang maju sebagai caleg DPRD Bekasi lewat Partai Perindo pada Pileg 2024 lalu. Lebih nekat, ada caleg yang sampai rela menjual satu ginjalnya untuk modal Pileg 2024.

Erfin Dewi Sudanto yang disokong PAN, memilih menjual satu ginjalnya untuk modal maju sebagai caleg DPRD Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Nahasnya, baik Dede ataupun Erfin, sama-sama gagal lolos dalam palagan Pileg 2024.

Tumbuh Subur Bersama Politik Uang

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, membenarkan polemik soal tingginya ongkos berpolitik merupakan topik rutin yang terus dibahas setiap kali pemilu. Berbagai perubahan regulasi untuk membatasi ongkos politik sudah coba dilakukan, tetapi nyatanya intervensi yang sudah dibuat selama ini tak berhasil sama sekali.

Biaya politik tetap saja tinggi, selaras dengan politik uang yang tumbuh subur selama pemilu. Sayangnya, kata Lucius, upaya mengatasi politik uang hanya sebatas urusan yang kecil-kecil belaka. Penyelenggara pemilu sibuk membabat amplop dan serangan fajar – itu pun masih banyak yang lolos – namun gagal membenahi akar masalah.

“Padahal akar persoalan sesungguhnya tak tersentuh yakni partai politik. Orang-orang yang mengeluarkan uang untuk ongkos politik itu adalah mereka yang terlibat dalam pesta politik pemilu atas persetujuan partai politik,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Selasa (28/5/2024).

Dalam sistem pemilu terbuka, kader-kader partai yang menjadi caleg berperang melawan rekan satu parpol dan melawan kontestan parpol lain demi meraup pemilih. Kontestasi merebut suara itu menjadi tanggung jawab penuh caleg atau kader yang bersangkutan. Parpol seakan cukup membuka jalan sembari memaksa para caleg mendapatkan kursi.

“Maka ini menjadi pasar bebas. Para caleg dengan percaya diri berjuang menggunakan sumber daya apapun yang ia miliki agar bisa menang,” ujar Lucius.

Alhasil, pilihan bagi para caleg cuma maju dengan duit atau tanpa duit. Lucius menilai jika maju tanpa duit jelas tidak mungkin untuk saat ini. Umumnya, yang mengaku tidak pakai duit untuk mendapatkan suara memang karena tidak punya modal kapital.

“Atau ia sebegitu tenarnya sehingga nggak memerlukan duit agar bisa dipilih,” lanjut dia.

Sementara itu, lemahnya kebijakan parpol mulai dari kaderisasi, rekrutmen caleg, hingga tata kelola keuangan partai juga menjadi biang kerok politik uang yang kian masif. Ditambah dengan kesadaran masyarakat yang nampak makin pragmatis dan oportunis, membebek gaya sikap para politisi kiwari.

“Jadi ya tak terkontrol lagi kebutuhan akan uang itu dalam politik kita,” ucap Lucius.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, menilai persaingan terbuka dalam pemilihan langsung memang memaksa para caleg menggunakan segala cara untuk menang. Masalahnya, uang lah yang diyakini sebagai instrumen utama dalam pemenangan. Ada juga faktor tak percaya diri caleg yang takut tak dipilih konstituen.

“Karenanya uang dianggap jadi solusi. Uang bukan hanya untuk mempengaruhi pilihan politik orang, tapi untuk mengamankan suara pendukungnya agar tak pindah ke lain hati,” ucap Adi kepada reporter Tirto, Selasa (28/5/2024).

Biaya politik yang tinggi nyatanya tak selalu menghasilkan politisi yang berkualitas wahid. Lebih jauh, caleg terpilih jadi bukan karena kapasitas dan kompetensi kinerja nyatanya, tapi lebih karena faktor logistik selama kampanye.

“Tentu ini bahaya, termasuk kemungkinan besar pemimpin terpilih itu lebih banyak untuk bekerja untuk diri dan kelompoknya saja ketimbang bekerja untuk rakyat,” ujar Adi.

Adi khawatir, caleg terpilih justru mengakumulasi modal untuk menutupi biaya kampanye yang mahal dan aji mumpung persiapan pemilu selanjutnya. Jadi yang mereka pikirkan selama mengemban amanat hanya menumpuk modal, bukan bekerja untuk rakyat. Tak heran, kasus korupsi dan mafia anggaran lahir dari pola pikir politikus kacangan semacam itu.

“Sementara orang yang punya kompetensi tapi duafa [miskin logistik] sulit untuk jadi pejabat publik. Kalo begini ceritanya politik kita, bisa dipastikan ke depan, para pejabat politik hanya dipenuhi oleh para memilik modal,” jelas Adi.(tirto/red)